Di sepanjang pesisir selatan Madagaskar, yang dilanda angin musiman yang kencang, sembilan belas desa di utara Toliara baru-baru ini menandai pembukaan kembali cagar gurita sementara mereka. Selama tiga hari, lebih dari 15,800 nelayan – termasuk 8,400 perempuan – memanen 17,253 kg gurita di 2,003 hektar wilayah penangkapan ikan. Harga per kilogramnya naik dua kali lipat dibandingkan tahun lalu, mencapai 12,000 Ariary ($2.70), memberikan penghasilan langsung dan vital bagi keluarga yang bergantung pada penangkapan ikan skala kecil.
Angka-angka ini menceritakan kisah yang lebih mendalam. Apa yang awalnya merupakan alat pengelolaan perikanan lokal yang sederhana telah berkembang menjadi strategi yang ampuh untuk adaptasi iklim, rencana pengelolaan multi-spesies, dan model adaptasi berbasis data, di mana masyarakat memulihkan ekosistem, mengelola sumber daya, dan menggunakan data untuk mengambil keputusan. Penutupan sementara kini membantu masyarakat pesisir membangun kembali ekosistem laut, memperkuat ketahanan pangan mereka, dan meningkatkan kapasitas mereka untuk merespons guncangan iklim – sekaligus merebut kembali kedaulatan atas data yang memandu keputusan mereka.

Dari inisiatif lokal menjadi praktik nasional
Praktik penutupan sementara wilayah penangkapan ikan agar stok ikan pulih pertama kali dimulai di Andavadoaka di Madagaskar barat daya pada tahun 2004. Hasilnya luar biasa: ketika cagar alam dibuka kembali, hasil tangkapan melonjak, baik dari segi berat maupun jumlah. Bukti nyata bahwa pengelolaan lokal berhasil. Keberhasilan ini menginspirasi masyarakat sekitar untuk mengadopsi pendekatan tersebut, yang berujung pada pembentukan Kawasan Laut Terkelola Lokal (LMMA) pertama di Madagaskar, Velondriake.
Sejak saat itu, model ini telah menyebar dengan cepat. Saat ini, Madagaskar memiliki lebih dari 200 LMMA yang tergabung dalam jaringan nasional MIHARI, yang mencakup sekitar 17% garis pantai negara tersebut. Kawasan konservasi yang dikelola masyarakat ini tidak hanya merevitalisasi sektor perikanan – tetapi juga menjadi salah satu contoh adaptasi berbasis ekosistem yang paling praktis dan berbiaya rendah.
Adaptasi berbasis ekosistem dalam praktik
Menghadapi kenaikan suhu laut, angin yang tak terduga (Tsioky atimo), dan pergeseran distribusi spesies, penutupan sementara memberi ekosistem waktu untuk pulih dan beradaptasi. Terumbu karang dan padang lamun yang lebih sehat menyimpan lebih banyak karbon, menyediakan tempat berlindung bagi ikan-ikan muda, dan meredam erosi pantai – yang secara langsung mendukung ketahanan masyarakat.
Penutupan ini juga merupakan jaring pengaman sosial. Dengan menyelaraskan tanggal pembukaan kembali dengan siklus musiman dan pasar, masyarakat dapat mengelola arus pendapatan dengan lebih baik, mengurangi kerentanan mereka terhadap peristiwa cuaca ekstrem dan penurunan stok ikan. Setiap pembukaan kembali merupakan momen adaptasi kolektif: masyarakat menggunakan data, pengetahuan lokal, dan kohesi sosial untuk mengelola ketidakpastian bersama.

Sistem data terintegrasi untuk pengambilan keputusan
Di balik kesuksesan ini terdapat infrastruktur data yang terus berkembang, dirancang bersama dan untuk masyarakat. Blue Ventures mendukung sistem data masyarakat yang menghubungkan perikanan, habitat pesisir, dan kesejahteraan sosial ke dalam sebuah platform terintegrasi. Kekuatan pendekatan ini terletak pada kemampuan masyarakat untuk menghasilkan dan menggunakan data mereka sendiri. Perangkat seluler dan sistem berbasis cloud memudahkan dan mempercepat pengumpulan data. Data tersebut secara otomatis dimasukkan ke dalam dasbor yang aman, dirancang dalam bahasa lokal dan memberikan wawasan hampir seketika kepada masyarakat tentang kesehatan perikanan mereka. Di wilayah barat daya, 48 pengumpul data terlatih kini beroperasi secara mandiri, mencatat hasil tangkapan dan memantau ekosistem, serta memberikan umpan balik triwulanan kepada masyarakat.
Hasilnya menunjukkan hal yang nyata. Sebuah studi tahun 2020 di Velondriake menunjukkan bahwa setelah enam tahun penutupan, biomassa ikan di dalam cagar permanen mencapai 189% dari biomassa di area penangkapan ikan – dan dalam beberapa kasus, 6.5 kali lebih tinggi. Dengan demikian, masyarakat memiliki bukti nyata bahwa pengelolaan mereka berhasil, memberi mereka keyakinan untuk melanjutkan dan menyesuaikan praktik mereka dengan perubahan kondisi lingkungan.
Dengan menyimpan, menafsirkan, dan menggunakan data mereka sendiri, masyarakat juga dapat membuat pilihan berdasarkan informasi yang sesuai dengan realitas ekologis dan budaya mereka. Kedaulatan data ini menantang model manajemen yang terlalu terpusat dan memungkinkan tata kelola yang lebih inklusif dan cerdas iklim.
Perangkat digital semakin memperkuat transformasi ini. Pengumpulan data berbasis ponsel pintar terbukti hampir selengkap catatan kertas tradisional (dengan selisih hanya 5%) sekaligus meningkatkan akurasi dan kecepatan. Hal ini memastikan pengambilan keputusan tetap responsif – sebuah keuntungan krusial karena masyarakat menghadapi volatilitas iklim dan pasar yang semakin meningkat.

Belajar melalui adaptasi
Pembukaan kembali pada bulan September menunjukkan kapasitas adaptif, tetapi juga menyoroti tantangan yang masih ada: perselisihan mengenai zona penangkapan ikan dan harga, serta dampak angin kencang terhadap hasil tangkapan. Namun, masing-masing hambatan ini berkontribusi pada penguatan sistem tata kelola lokal, seiring masyarakat belajar bernegosiasi, memantau, dan mengadaptasi aturan mereka.
Namun, manfaatnya tidak dapat disangkal:
- Peningkatan sumber daya kelautan dan peningkatan ketahanan pangan
- Peningkatan partisipasi perempuan dalam pengelolaan perikanan
- Peningkatan dan stabilitas pendapatan rumah tangga di pesisir
- Meningkatnya kepercayaan masyarakat dalam menggunakan data untuk beradaptasi terhadap perubahan lingkungan dan ekonomi
Sebuah jalan untuk diikuti
Di tengah meningkatnya tekanan akibat perubahan iklim dan eksploitasi berlebihan di Madagaskar, cagar alam ini menunjukkan bahwa adaptasi dapat didorong secara lokal dan berbasis data. Masyarakat bukan sekadar peserta konservasi, mereka adalah penjaga pengetahuan dan perancang aksi.
Model ini kini menginformasikan perdebatan yang lebih luas tentang keadilan data dan dekolonisasi konservasi, mengingatkan para pembuat kebijakan bahwa masyarakat garda terdepan memegang informasi paling relevan dan terkini tentang ekosistem tempat mereka bergantung. Dengan dampak iklim yang semakin intensif di pesisir Afrika, pelajaran dari Madagaskar menjadi jelas: data di tangan masyarakat merupakan salah satu alat terkuat yang kita miliki untuk mempertahankan perikanan di tengah iklim yang berubah dengan cepat.
Pelajari lebih lanjut tentang pekerjaan kami yang mendukung kedaulatan data di sini





